Oleh: Abdulloh Mubarok
(Dosen Tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pancasakti Tegal)
Pemerintah berencana menggratiskan biaya pengurusan sertifikasi halal produk usaha mikro dan kecil (UMK), khususnya UMK yang omset pertahunnya maksimal Rp1 miliar. Penggratisan biaya ini diberikan untuk semua pengurusan mulai dari registrasi sampai pemberian sertifikat halal. Pemerintah tampak serius. Ini terbukti dari kegiatan penandatanganan nota kesepahaman lintas kementerian dan lembaga terkait (MoU) tentang Fasilitasi Sertifikasi Produk Halal Bagi Pelaku UMK pada Kamis 13 Agustus 2020. MoU ini kemudian ditindaklanjuti oleh Kementerian Keuangan dengan menyiapkan peraturan (PMK) tentang biaya sertifikasi halal bagi UMKM.
Sertifikasi halal merupakan proses pemberian sertifikat yang menyatakan suatu produk seperti makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik dan lain-lain tidak mengandung unsur yang dilarang menurut ajaran Islam. Ketentuan sertifikasi halal secara umum mendasarkan pada Undang-undang No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Pasal 4, UU tersebut menjelaskan produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Tidak terkecuali produk yang dihasilkan pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Sertifikasi halal juga merupakan satu program dari salah satu pilar utama Master Plan Ekonomi dan Keuangan Syariah pemerintah, yaitu pilar rantai nilai halal (halal value chain). Khusus terkait penggratisan sertifikasi halal UMK, ketentuanya mendasarkan pada Undang-Undang Cipta Kerja. UU Cipta Kerja mengatur biaya pengurusan sertifikasi halal UMK ditanggung pemerintah alias gratis.
Sertifikasi halal secara umum bisa meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk UMKM. Bagi konsumen Muslim, produk yang sudah bersertifikat halal tentu lebih utama dibeli dibanding dengan produk yang belum bersertifikat halal. Sementara konsumen non-Muslim tertarik, karena produk bersertifikat halal menunjukan bahwa produk telah melalui proses standarisasi sehingga dipastikan berkualitas dan baik. Produk bersertifikat halal juga dapat bersaing dengan produk impor. Sekarang ini produk impor banyak yang sudah dilengkapi label halal dari otoritas negara dimana produk tersebut berasal. Bukti peningkatan daya saing juga terlihat dari hasil survei Kementrian Koperasi dan UKM. Survei selama periode 2014-2019 menunjukkan ketika UMKM memegang sertifikasi halal, omzet produknya langsung melonjak, yaitu naik rata-rata sebesar 8,53%.
Meskipun demikian, saat ini masih sedikit produk UMKM yang telah bersertifikat halal. Tercatat total jumlah perusahaan yang tersertifikasi halal oleh LPPOM MUI sejak 2011 baru mencapai 60.511 unit. Itupun tanpa memisahkan antara usaha besar dengan usaha mikro dan kecil. Padahal Jumlah UMKM di Indonesia telah mencapai lebih dari 62.9 juta unit. Pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebenarnya telah membuat aturan yang mewajibkan produk makanan dan minuman memiliki sertifikasi halal. Aturan tersebut berlaku terhitung sejak 17 Oktober 2019. Prosesnya dilakukan secara bertahap dimulai dari jenis produk makanan dan minuman kemudian menyusul ke jenis produk selainnya. Sejak aturan diberlakukan, setidaknya sudah ada 6.203 pengajuan permohonan sertifikasi halal dari pelaku usaha tetapi baru 560 sertifikat halal diterbitkan. Dari jumlah tersebut, 80 persennya merupakan sertifikat halal bagi produk UMKM.
Perlu langkah-langkah guna mempercepat sertikasi halal produk UMKM. Misalnya dengan memperluas sosialisasi sertifikasi halal melalui berbagai kegiatan seperti FGD, pelatihan, workshop dan lain-lain. Melalui kegiatan ini pelaku UMKM mendapat pengetahuan mengenai prinsip-prinsip yang harus dipenuhi sebagai syarat dalam proses sertifikasi halal. Pelaku UMKM juga mendapat informasi mengenai tata cara atau mekanisme/proses memperoleh sertifikasi halal atas produk yang dihasilkan. Dengan kegiatan sosialisasi diharapkan semakin timbul kesadaran tentang pentingnya sertifikasi halal.
Terkait kegiatan ini, beberapa pihak seperti Bank Indonesia (BI) dan Kementrian Koperasi (Kemenkop) dan UKM, sudah dan terus mengimplementasikan. BI konsen terhadap peningkatan jumlah sertifikasi halal karena bisa mendorong pengembangan UMKM dan industri halal, yang pada gilirannya akan berkontribusi meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Beberapa program BI diantaranya bekerjasama dengan BPJPH mendirikan Halal Center. Ditingkat wilayah, seluruh perwakilan BI diberikan mandat untuk mendukung program peningkatan jumlah sertifikasi melalui penyediaan fasilitasi seperti FGD, pelatihan, workshop mengenai jaminan produk halal. Sementara Kemenkop dan UKM disamping melakukan sosialisasi juga melakukan pendampingan produk halal. Kementrian ini memiliki 71 pusat layanan usaha terpadu di berbagai kabupaten/kota yang siap diberdayakan guna membantu meningkatkan jumlah sertifikasi halal.
Disamping sosialisasi, perlu juga mempermudah proses sertifikasi halal. Langkah ini, dilakukan pemerintah, misalnya dengan menggratiskan biaya pengurusan sertifikasi halal pada produk dari UMK yang beromset paling banyak Rp1 miliar pertahun. Contoh lainnya adalah memperbanyak Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Dalam pasal 12 (1) undang-undang Jaminan Produk Halal tersirat pemeriksa kehalalan bukan monopoli pemerintah tapi bisa dilakukan oleh unsur masyarakat seperti ormas Islam, perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta yang ada di bawah lembaga keagamaan atau yayasan Islam.
Perlu keseriusan pemerintah dan kesadaran masyarakat secara umum terhadap pelaksanaan program sertifikasi halal produk UMKM. Hal ini karena program sertifikasi halal dapat meningkatkan daya saing, nilai tambah dan pasar produk UMKM. Nantinya secara makro diharapkan berkontribusi meningkatkan perekonomian nasional.
*Terbit di harian RADAR TEGAL pada kolom OPINI, Senin 14 Desember 2020