Oleh: Mei Rani Amalia SE MM
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UPS Tegal
Sampai dengan akhir tahun 2020 ini, pandemi covid-19 ternyata masih bertahan, bahkan di beberapa daerah di Indonesia jumlah pasien yang positif covid-19 mengalami peningkatan secara drastis. Hal ini tentu membawa dampak yang serius di berbagai bidang, seperti ekonomi, pendidikan, sosial, politik, sampai dengan dampak psikologis, kesehatan, dan moral masyarakat.
Di bidang ekonomi, adanya penyebaran virus ini membuat pemerintah da masyarakat banyak mengurangi kegiatan di luar rumah yang pada akhirnya berdampak pada turunnya pengeluaran untuk konsumsi akan barang atau jasa.
Penurunan belanja masyarakat ini akan berakibat pada berkurangnya pendapatan masyarakat di sektor produksi barang atau jasa. Dampak pandemi ini bukan saja dialami oleh Indonesia tapi secara global dialami oleh sekitar 209 negara di dunia.
Jika dibiarkan maka kondisi ini menjadi seperti lingkaran setan yang tak berujung dan dikhawatirkan menimbulkan kontraksi ekonomi yang lebih besar.
Rendahnya pengeluaran agregat selain berpengaruh kepada pendapatan nasional yang rendah juga akan menyebabkan tingginya angka pengangguran yang merupakan ciri dari kemerosotan ekonomi.
Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) dan BPJS Ketenagakerjaan mencatat bahwa terdapat sekitar 2,8 juta pekerja yang terdampak pandemi, terdiri dari 1,7 juta pekerja formal yang dirumahkan dan 749, 4 ribu pekerja mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Secara teoritis, pendapatan yang diterima masyarakat (disposible income) akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, menabung, dan membayar pajak. Namun, dalam kondisi ketidakstabilan ekonomi selama pandemi seperti sekarang ini,dengan keadaan tidak ada penghasilan karena kehilangan pekerjaan, jangankan untuk menabung dan membayar pajak, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang berupa kebutuhan pokok saja sudah menjadi sesuatu hal yang sangat berat bagi masyarakat.
Konsumsi rumah tangga yang merupakan penopang utama perekonomian melambat secara signifikan, sehingga mempengaruhi kinerja sektor industri dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang juga mengalami penurunan.
Survei online yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Pusat Penelitian Ekonomi mencatatkan hasil bahwa pada kuartal II tahun 2020 pertumbuhan ekonomi melambat dan terkontraksi sampai dengan minus 5,32 persen secara tahunan, dan kontraksi terdalam dialami oleh sektor konsumsi rumah tangga.
Analisis makroekonomi sangat menekankan kepada peran pemerintah dalam mempengaruhi kegiatan ekonomi. Pemerintah dengan penerapan kebijakan anggaran yang tepat diharapkan akan dapat mengurangi dampak negatif pandemi terhadap keadaan ekonomi negara secara keseluruhan.
Sejatinya, pemerintah dapat menyusun kebijakan anggaran yang mempengaruhi ekonomi dari sisi permintaan atau demand side policy. Kebijakan dari sisi permintaan ini mempunyai tujuan untuk mempertahankan daya beli masyarakat.
John Maynard Keynes atau lebih dikenal dengan Keynes merupakan ahli teori Demand Side Economics, telah membuktikan bahwa teorinya dapat membantu mengakhiri kejadian Great Depression pada tahun 1930-a. Keynes dan para ekonom demand side berpendapat bahwa tingkat permintaan efektif (effective demand) – yang dicapai melalui pertambahan dalam komponen pengeluaran agregat kecuali impor, yaitu pertambahan konsumsi (C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G), dan ekspor (X) – akan menentukan sejauh mana produksi nasional akan diwujudkan dalam perekonomian sehingga dapat membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pendapatan nasional, dan kesempatan kerja.
Sedangkan pertambahan dari komponen bocoran (leakages), yaitu penambahan tabungan (S), pajak (T), dan impor (M) akan memberikan pengaruh sebaliknya. Untuk mewujudkan peningkatan aggregate demand, pelaksanaan kebijakan sisi permintaan ini juga mengarah pada penerapan kebijakan fiskal yang berupa pemotongan pajak dan peningkatan belanja pemerintah.
Kemudian dari sisi moneter, pemerintah melalui Bank Sentral juga dapat membuat skenario untuk melakukan penurunan tingkat suku bunga sehingga diharapkan akan meningkatkan investasi.
Pemerintah Indonesia dalam pandangan penulis telah berupaya untuk melaksanakan kebijakan demand side selama pandemi ini berlangsung, dapat dilihat dari adanya peningkatan yang cukup besar atas belanja pemerintah melalui serangkaian pemberian bantuan kepada masyarakat. Seperti diantaranya Bantuan Langsung Tunai (BLT), Jaring Pengaman Sosial (JPS), Kartu Pra Kerja, bantuan untuk UMKM, insentif pajak bagi perusahaan, bantuan untuk sektor kesehatan, subsidi listrik, dan lain-lain yang nilainya mencapai sekitar Rp 405,1 Triliun.
Rangkaian kebijakan tersebut kemudian melahirkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan atau dalam rangka menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian dan atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Pro dan kontra terhadap peraturan pemerintah tersebut tentu ada, namun harapannya apa yang dilakukan pemerintah melalui kebijakan pemberian bantuan sosial dan subsidi ini akan dapat meningkatkan konsumsi masyarakat, meningkatkan kesempatan kerja, dan dapat menggerakkan kembali roda perekonomian yang tersendat akibat pandemi covid-19.
Satu hal lagi yang penting, kebijakan yang diambil pemerintah ini mengarah kepada efek meningkatnya utang pemerintah sehingga menambah beban berat APBN dan melebarkan defisit.
Diharapkan pemerintah mempunyai mekanisme pembiayaan yang tepat dengan kerangka regulasi yang jelas untuk mengatasi pelebaran defisit tersebut, sehingga tidak akan menimbulkan permasalahan di kemudian hari dan beban tambahan bagi masyarakat.