Oleh:
Jaka Waskito (Dosen FEB UPS Tegal)
Kalau kita mengingat krisis keuangan pada tahun 1998-1999 dan 2007-2009 telah memberikan pelajaran berharga mengenai pentingnya mempertahankan stabilitas keuangan dan mengendalikan risiko keuangan sistemik. Upaya ini berjalan beriringan dengan adanya tuntutan untuk meningkatkan inklusi keuangan, khususnya di negara-negara yang masih terbelakang, sedang berkembang, dan tumbuh cepat. Meskipun, keterbatasan akses sebenarnya masih pula dijumpai pada penduduk di negara-negara yang sudah maju sekalipun. Inklusi keuangan dalam konteks ini dimaknai sebagai akses yang lebih besar terhadap layanan keuangan bagi penduduk dan rumah tangga yang berpendapatan rendah serta perusahaan-perusahaan yang berskala kecil. Layanan keuangan sangat penting bagi penduduk dalam rangka menyiapkan strategi untuk membangun kondisi keuangan dan ekonomi mereka.
Pemaknaan tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai hubungan di antara inklusi keuangan dan stabilitas keuangan. Apakah hubungan keduanya bersifat saling menggantikan (substitusi) atau saling melengkapi (komplemen)? Apakah tingkat inklusi keuangan masyarakat yang lebih baik akan meningkatkan atau justru mengurangi stabilitas keuangan?
Morgan dan Pontines (2014) mengemukakan bahwa sejumlah studi menunjukkan adanya cara positif maupun negatif dari inklusi keuangan dalam memberikan pengaruh terhadap stabilitas keuangan, namun masih jarang penelitian empirik yang dapat menunjukkan adanya hubungan di antara keduanya. Kelangkaan ini kemungkinan disebabkan masih minimnya data inklusi keuangan yang tersedia, karena diskusi mengenai inklusi keuangan masih relatif baru. Dalam penelitiannya, Morgan dan Pontines (2014) dapat membuktikan bahwa peningkatan pangsa penyaluran pinjaman kepada perusahaan berskala kecil dan menengah (UKM) membantu stabilitas keuangan, terutama dengan mengurangi jumlah pinjaman macet (non-performing loan, NPL) dan menurunkan kemungkinan gagal bayar oleh lembaga-lembaga keuangan.
Terdapat tiga persyaratan yang berhubungan dengan stabilitas keuangan, yaitu:
- sistem keuangan harus mampu mengefisienkan dan memperlancar perpindahan sumberdaya dari para penabung kepada para investor;
- risiko-risiko keuangan harus dinilai dan dihargai secara beralasan dan akurat dan juga dapat dikelola dengan baik; serta
- sistem keuangan harus berada dalam kondisi yang dapat menyerap berbagai kejutan dan tekanan keuangan dan ekonomi dengan baik.
Inklusi keuangan memfasilitasi kelancaran konsumsi (consumption smoothing), karena rumah tangga dapat menyesuaikan simpanan dan pinjaman mereka sebagai respons atas perubahan tingkat bunga dan perkembangan ekonomi yang tidak dapat diduga. Dengan kondisi keterbatasan akses terhadap lembaga-lembaga keuangan formal sekalipun, terdapat banyak cara bagi masyarakat untuk memperlancar konsumsi mereka. Mereka dapat menyimpan dalam bentuk perhiasan atau aset-aset non finansial lainnya. Para petani yang belum memiliki akses terhadap lembaga keuangan formal dapat memperdagangkan ternak mereka atau aset-aset lainnya yang menghasilkan pendapatan, atau mereka dapat melakukan penyesuaian cara kerja sebagai respons atas terjadinya gangguan. Sedangkan sebagai peminjam, para sahabat dan keluarga dapat berperan sebagai pemberi pinjaman yang penting menggantikan perbankan.
Khan (2011) dalam Morgan dan Pontines (2014) mengemukakan tiga cara utama di mana inklusi keuangan yang lebih tinggi dapat berkontribusi positif maupun negatif terhadap stabilitas keuangan. Kontribusi positif yang pertama adalah adanya diversifikasi aset-aset bank sebagai hasil dari peningkatan penyaluran pinjaman kepada perusahaan-perusahaan berskala kecil. Diversifikasi ini dapat mengurangi risiko protofolio pinjaman dari suatu bank. Kedua, meningkatnya jumlah penabung berskala kecil akan meningkatkan ukuran dan stabilitas dari basis simpanan serta mengurangi ketergantungan bank terhadap pembiayaan non inti yang cenderung lebih rentan selama krisis. Ketiga, inklusi keuangan yang lebih tinggi berkontribusi pula terhadap transmisi kebijakan moneter yang lebih baik dan stabilitas keuangan yang lebih tinggi. Pandangan ini sejalan dengan Hannig dan Jansen (2010) yang mengungkapkan bahwa kelompok masyarakat yang berpendapatan rendah relatif kebal terhadap siklus ekonomi, sehingga memasukkan mereka ke dalam sektor keuangan akan cenderung meningkatkan stabilitas basis simpanan dan pinjaman.
Adapun kontribusi negatif yang pertama adalah bahwa upaya memperluas peminjam dapat bermuara pada penurunan standar penyaluran pinjaman. Kedua, bank-bank dapat meningkatkan risiko reputasi mereka jika mereka menyerahkan fungsi-fungsinya kepada pihak luar (outsource), seperti penilaian kredit, dalam rangka menjangkau para peminjam berskala kecil. Ketiga, jika lembaga-lembaga keuangan mikro tidak diatur dengan baik, maka peningkatan penyaluran pinjaman dapat menurunkan efektivitas regulasi dalam perekonomian dan meningkatkan risiko sistem keuangan.