Oleh: Abdulloh Mubarok, SE.MM.Ak.CA
Dosen Tetap FEB Universitas Pancasakti Tegal
Pada Sidang Tahunan MPR-RI, Jumat 14 Agustus 2020, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan nota keuangan untuk rencana anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) 2021. Dalam paparannya, presiden Jokowi optimis perekonomian Indonesia akan membaik di tahun 2021. Hal ini terlihat dari beberapa asumsi makro ekonomi Indonesia yang menjadi dasar penyusunan RAPBN 2021. Asumsi makro tersebut antara lain pertumbuhan ekonomi, inflasi dan kurs rupiah terhadap dolar AS.
Perekonomian nasional ditargetkan tumbuh di kisaran 4,5 persen hingga 5,5 persen. Target tersebut lebih tinggi dari target tahun ini, yaitu 5,3 persen bahkan jauh dari realisasi pertumbuhan di Kuartal II-2020 yang minus 5,32 persen akibat pandemi virus corona. Target pertumbuhan ekonomi tersebut diharapkan terealisasi melalui dua motor penggerakan utama, yaitu peningkatan konsumsi domestik dan investasi.
Inflasi tetap terjaga pada tingkat 3 persen. Pemerintah berkomitmen mempertahankan inflasi pada angka tersebut melalui beberapa cara seperti meningkatkan ketahanan pangan dan menjaga stabilitas harga. Stabilitas harga dilakukan dengan menjaga ketersediaan pasokan pangan serta kelancaran distribusi. Selama masa pandemi corona, pemerintah telah menggelontorkan dana melalui berbagai stimulus. Harapanya dapat menambah likuiditas yang akan mendorong naiknya permintaan dan daya beli masyarakat.
Nilai tukar rupiah ditargetkan Rp14.600 per dolar AS. Besaran nilai tukar ini melemah dibandingkan asumsi nilai tukar yang ditetapkan pemerintah tahun ini, yaitu Rp14.400 per dolar AS. Pemerintah berusaha merealisasi target nilai tukar tersebut melalui berbagai upaya seperti perluasan basis investor, penyempurnaan infrastruktur pasar Surat Berharga Negara (SBN), dan diversifikasi. Upaya-upaya tersebut diharapkan bisa meningkatkan basis investor domestik atas kepemilikan SBN sehingga rupiah tidak mudah goncang ketika terjadi aliran modal asing keluar (capital outflow).
Pemerintah menyadari penyusunan proyeksi makro ekonomi tersebut disusun di tengah kondisi ketidakpastian akibat pandemi Covid-19. Terkait pertumbuhan ekonomi, misalnya, ketidakpastian terlihat dalam perubahan proyeksi perekonomian tahun ini, yaitu yang awalnya diperkirakan bisa tumbuh minus 0,4 persen sampai 2,3 persen, harus dikoreksi ke bawah menuju minus 0,4 persen sampai 1 persen berdasarkan kontraksi ekonomi yang terjadi di kuartal kedua tahun ini.
Sebagaimana diketahui bersama, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 5,32 persen di kuartal II-2020. Sebelumnya, di kuartal I-2020, perekonomian Indonesia masih tumbuh 2,97 persen. Kontraksi -5,32% di kuartal II 2020 menjadi sinyal dan peringatan bagi pemerintah, yaitu akan terjadinya resesi ekonomi. Kondisi resesi ini kian nyata setelah Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, memprediksi pertumbuhan ekonomi kuartal III-2020 di kisaran minus 1 persen hingga 2 persen. Perlu diketahui perekonomian suatu negara dianggap mengalami resesi ketika produk domestik bruto (PDB) atau pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal atau lebih dalam satu tahun.
Jika perekonomian nasional mengalami resesi maka akan berdampak negatif diantaranya menurunya daya beli masyarakat, berkurangnya lapangan pekerjaan dan meningkatnya kemiskinan. Daya beli menurun karena pendapatan masyarakat menurun. Masyarakat kemudian semakin berhemat, tak lagi melakukan konsumsi untuk barang sekunder apalagi barang mewah. Perusahaan juga tidak banyak membuka lapangan pekerjaan. Mereka justru mengurangi jumlah karyawannya bahkan menutup usahanya. Akibat lanjutannya adalah angka kemiskinan meningkat. Pemerintah memperkirakan angka kemiskinan bertambah 1,89 juta orang pada skenario berat dan bertambah 4,86 juta orang pada skenario sangat berat di tahun 2020.
Melalui penetapan asumsi makro ekonomi di atas, menunjukan pemerintah optimis bahwa perekonomian nasional akan tumbuh membaik di masa yang akan datang. Optimisme pemerintah tersebut juga ditindaklanjuti dengan penyusunan berbagai program pemulihan ekonomi. Misalnya dengan membentuk Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional guna meningkatkan koordinasi dan pelaksanaan kebijakan dalam menangani pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Pemerintah juga telah membuat beberapa program stimulus guna mendorong pemulihan ekonomi nasional antara lain (i) pemberian bantuan berupa pengurangan beban listrik bagi dunia usaha, yakni industri bisnis dan sosial. (ii) penurunan angsuran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25. (iii) pemberian bansos untuk para penerima program keluarga harapan (PKH). (iv) pemberian bantuan tunai Rp500.000 bagi penerima kartu sembako di luar PKH. (v) pemberian bansos produktif bagi 12 juta UMKM yang masing-masing mendapatkan Rp 2,4 juta. (vi) memberikan bantuan berupa tambahan gaji kepada pegawai swasta yang gaji atau upahnya di bawah Rp 5 juta per bulan.