Penerapan PSAK 71 Pada Perbankan di Masa Pandemi Covid -19

PSAK atau yang juga dikenal sebagai pernyataan standar akuntansi keuangan merupakan sekumpulan aturan yang mengatur mengenai tata cara penghitungan, pengklasifikasian, serta pencatatan akuntansi di Indonesia. Pada tahun 2017, Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) telah merilis tiga Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) baru yaitu PSAK 71, 72, dan 73 yang mulai diimplementasikan / efektif mulai pada tahun 2020 ini.

Dikeluarkannya PSAK yang baru ini merupakan bagian dari usaha otoritas untuk mengadopsisistem dari International Financial Reporting Standards (IFRS) yang dikeluarkan oleh International Accounting Standard Board (IASB). Poin-poin yang diatur oleh ketiga PSAK yang baru ini salah satunya PSAK 71 yang mengatur mengenai instrumen keuangan. PSAK 71 memandatkan korporasi menyediakan pencadangan sejak awal periode kredit. Kini, dasar pencadangan adalah ekspektasi kerugian kredit (expected credit loss) yang didasarkan berbagai faktor, termasuk di dalamnya proyeksi ekonomi di masa mendatang.

Berdasarkan standar akuntansi baru ini, korporasi harus menyediakan cadangan kerugian atas penurunan nilai kredit (CKPN) untuk semua kategori kredit atau pinjaman, baik itu yang berstatus lancar (performing), ragu-ragu (underperforming), maupun macet (non-performing). Misalnya pada kredit lancar, korporasi harus menyediakan CKPN berdasarkan ekspektasi kerugian kredit dalam 12 bulan mendatang (Brama, 2019). Oleh sebab itu, PSAK 71 mengharuskan perbankan memiliki cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang lebih besar dibanding dengan ketentuan regulasi sebelumnya. Hal ini dikarenakan PSAK 71 mewajibkan perusahaan untuk menyediakan pencadangan sejak awal periode kredit.

Penerapan PSAK 71 dimulai sejak tahun 2020. Perbankan Indonesia telah menyiapkan penambahan CKPN agar sesuai dengan regulasi PSAK 71. Direktur Keuangan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), Haru Koesmahargyo, memperkirakan CKPN yang diperlukan BRI mencapai Rp10 triliun. Angka ini lebih besar dibandingkan perkiraan yang disampaikan beliau dalam paparan kuartal II-2019 lalu yang memperkirakan BRI memerlukan tambahan pencadangan hingga Rp8 triliun.

Bank BUKU 4 lainnya, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) membutuhkan pencadangan tambahan sekitar Rp 5 triliun hingga Rp 6 triliun. Selain itu, PT Bank Panin Indonesia Tbk (PNBN) meningkatkan pencadangannya Rp 362 miliar hingga pada akhir tahun 2019 bisa mencapai Rp 4,19 triliun (Sitanggang, L. M. S. 2020a). Oleh karena itu, PSAK 71 membuat CKPN perbankan di Indonesia meningkat dengan tingkat yang bervariasi.

Bagaimana Penerapan PSAK 71 oleh Perbankan di Tengah Gempuran Pandemi Covid-19?

Di samping penerapan PSAK 71, perbankan juga menghadapi permasalahan rumit lainnya, yaitu pandemi COVID-19. Pandemi ini mengakibatkan perekonomian secara keseluruhan melambat.

Berdasarkan Rilis BPS mengenai Data Pertumbuhan Ekonomi Triwulan II 2020 melalui kanal youtube BPS, pertumbuhan ekonomi Indonesia secara year on year (yoy) sebesar minus 5,32%. Kontraksi ini menjadi pertumbuhan ekonomi terendah sejak krisis tahun 1998. Hal ini disebabkan menurunnya PDB Indonesia hampir pada seluruh sektor.

Pandemi COVID-19 membuat sektor usaha menjadi semakin sulit dalam mempertahankan bisnisnya, secara tidak langsung mengakibatkan sulitnya para debitur perbankan dalam membayar hutang-hutangnya. Oleh karena itu, OJK memberikan relaksasi kredit usaha mikro dan kecil untuk nilai dibawah Rp10 miliar, baik kredit maupun pembiayaan yang diberikan oleh bank atau industri keuangan non-bank kepada debitur.

Debitur akan diberikan fasilitas penundaan sampai dengan 1 (satu) tahun serta penurunan bunga kredit. Pemerintah juga memberikan kelonggaran bagi perbankan untuk tidak meningkatkan CKPN perusahaan. Namun, hal ini hanya berlaku bagi debitur yang kinerjanya baik dan saat ini terkena dampak pandemi. Apabila debitur diperkirakan tidak dapat pulih dalam menghadapi pandemi, maka bank diwajibkan untuk membentuk CKPN.

Hal ini dilakukan berdasarkan peraturan yang tercantum dalam POJK No.11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical (Otoritas Jasa Keuangan, 2020).
Dampak rasio keuangan perbankan Per 20 Juli 2020, OJK mencatat 6,73 juta debitur telah memanfaatkan restrukturisasi kredit (Putra, 2020).

Walaupun POJK No. 11/POJK.03/2020 telah diterapkan, CKPN perbankan tetap meningkat secara keseluruhan. Pada Februari 2020, perbankan secara agregat tercatat telah membentuk CKPN hingga mencapai Rp248,92 triliun. Kemudian pada bulan Mei 2020, CKPN perbankan meningkat sebesar Rp 21,24 triliun atau naik 8,53% menjadi Rp270,16 triliun. Secara garis besar, restrukturisasi kredit membuat CKPN perbankan secara umum meningkat. Peningkatan CKPN menimbulkan dampak yang beragam.

Peningkatan CKPN disebabkan oleh kredit berisiko (Loan at Risk) yang meningkat cukup tajam. Di sisi lain, coverage CKPN, rasio permodalan perbankan (CAR), serta rasio CKPN terhadap total kredit justru tidak berubah signifikan. PSAK 71 membuat CKPN perbankan secara umum meningkat. Adanya covid-19 membuat perbankan menghadapi permasalahan yang semakin rumit, sehingga OJK memberikan restrukturisasi serta kelonggaran CKPN bagi perbankan.

Hal itu cukup meringankan beban perbankan, tetapi CKPN tetap meningkat. Peningkatan ini sejalan dengan peningkatan kredit berisiko (Loan at Risk). Hal sebaliknya terjadi pada coverage CKPN, rasio permodalan perbankan (CAR), serta rasio CKPN terhadap total kredit hanya mengalami perubahan yang minim. Maka dari itu, perbankan diharapkan lebih selektif dalam memberikan kredit serta memberikan keringanan bagi debitur yang benar-benar terdampak Covid-19 di tahun 2021.(*).

Oleh: Eva Anggra Yunita,SE.M,Acc.Ak.
Dosen Fakultas Ekonomi ddan Bisnis UPS Tegal

Scroll to Top