KEMISKINAN merupakan persoalan yang sangat klasik bagi umat manusia khususnya negara. Sehingga perlu ada pemikiran oleh Negara dalam mengatasinya maupun meminimalkan persoalan tersebut.
Permasalahan kemiskinan dan implikasi dapat melibatkan semua aspek kehidupan manusia, dan merupakan bahaya bagi umat manusia itu sendiri, karena tidak sedikit dari umat terdahulu yang jatuh peradaban, dikarenakan kemiskinan (kefakiran).
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, menyatakan bahwa kefakiran itu mendekati pada kekufuran. Zaman Rasulullah SAW, untuk memperoleh sumber penerimaan Negara yakni dengan cara pungutan dana dari warga yaitu melalui pemungutan zakat dan pajak.
Alternatif yang diterapkan pada perekonomian Negara adalah ekonomi Islam. Sebenarnya ekonomi Islam itu bukan hanya membahas keuangan, perbankan tetapi ekonomi Islam, di mana salah satu fungsi untuk memberdayakan masyarakat. Zakat, infaq, shadaqah, (ZIS) dan wakaf inilah yang bisa diharapkan menjadi instrument ekonomi Islam dengan cara mengoptimalkan pengelolaan yang bermaslahat.
Qordowi (1993) berpendapat pendayagunaan zakat yang dikelola tidak hanya terbatas pada kegiatan tertentu saja yang berdasarkan pada orientasi konvensional-konsumtif, tetapi dapat pula dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi umat (produktif) dan memberdayakan (seperti bentuk program pengentasan kemiskinan dan pengangguran dengan memberikan zakat produktif kepada mereka yang memerlukan sebagai modal usaha).
Di masa Nabi SAW, sumber dana yang zakat (termasuk infaq dan shadaqah) dikenakan umat muslim, dan pajak dikenakan non-muslim yang di bawah perlindungan pemerintah Islam. Pada masa sahabat Umar kehidupan sosial, ekonomi dan politik yang semakin kompleks, maka kedua sumber pungutan dana pada akhirnya diwajibkan kepada setiap muslim.
Sebuah hadis dijelaskan ketika Nabi SAW ditanya apakah itu Islam, Nabi menjawab Islam ditegakkan berdasarkan lima pilar utama, sebagaimana bunyi hadis Muttafaq ’alaih: “Ketika Nabi Muhammad SAW, ditanya apakah itu Islam? Nabi menjawab: Islam adalah mengikrarkan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah RasulNya, mendirikan salat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan naik haji bagi yang mampu melaksanakannya..”
Dengan demikian potensi zakat harus didayagunakan bagi kesejahteraan masyarakat. Allah SWT telah berfirman (QS 9;103): “Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…
Di dalam lafaz khu pada ayat tersebut yang memiliki arti “mengambil”, diinterpretasikan sebagai suatu perintah dari pihak pemegang otoritas. Zaman Umar, zakat diambil langsung dari muzakki oleh pemerintah, tetapi sampai sekarang zakat itu muzakki memberikan kepada pemerintah sehingga maknanya berbeda dengan arti lafaz khu.
Maqasid syariah merupakan suatu konsep yang penting dan menjadi perhatian bagi para ulama maupun pakar hukum Islam dalam Ushul Fiqh. Perkembangan terakhir, dimana maqasid syariah merupakan kajian utama dalam Filsafat Hukum Islam, istilah maqasid syariah identik dengan Filsafat Hukum Islam.
Maqasid syariah juga telah menjadi pertimbangan sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Sahabat Umar menetapkan pedoman dalam menentukan sebuah ketetapan.
Secara etimologis (lughawy), maqasid syariah terdiri dari dua kata maqasid sebagai bentuk jama’ yang berarti kesengajaan/tujuan dan syariah berarti jalan menuju sumber air (al-mawadhi’ tahdar ila al-maa’).
Fazlur Rahman, 1984 mengemukakan maqasid syariah secara etimologis sesuatu tujuan untuk datang menuju tempat sumber air sebagai sarana kebutuhan kehidupan pokok manusia, dan dengan air seseorang akan hidup tenang, merasa nikmat dan menyegarkan tubuh.
Abu Ishaq al-Syatibi, mewujudkan dan merealisir ajaran-ajaran agama untuk kemaslahatan manusia dunia dan akhirat kelak (ushuliyyin). Ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan, yaitu hifdz al-din, hifdz al-nafs, hifdz al-nasl, hifdz al-mal, dan hifdz al-aql. Mukallaf akan memperoleh kemaslahatan bilamana memelihara kelima unsur pokok, sebaliknya ia akan merasakan adanya kerusakan (mafsadat).
Upaya memelihara dan mewujudkan ushul al-khamsah dalam aplikasi penetapan hukum, Al-Syatibi membagi tiga tingkatan: maqasid daruriyyah (perkara-perkara mutlak dan mendasar untuk menjalankan roda kehidupan manusia), maqasid al-hajiyyah (perkara-perkara yang apabila tidak ada, maka kehidupan manusia akan menjadi susah), dan maqasid al-tahsiniyyah (pelengkap hiasan tambahan dalam kehidupan).
Pandangan maqasid syariah ZIS adalah muzakki mengeluarkan untuk kemakmuran atau pemberdayaan dana sosial di umat/masyarakat. (**)
*) Dosen FEB UPS Tegal