Se Kaya Abdurrahman Bin Auf, Mengapa Tidak?

Sa’ad bin Rabi tidak bisa menyembunyikan kegembiraan dalam hatinya. Betapa merasa beruntung ia dipersaudarakan dengan seorang Muhajirin yang baik akhlaknya, sopan tutur katanya, dan menyenangkan kepribadiannya seperti Abdurrahman bin Auf, “Saudaraku, aku adalah orang terkaya di Kota Madinah. Silakan pilih separuh hartaku dan ambillah! Dan aku memiliki dua orang isteri.

Coba perhatikan yang lebih menarik, akan kucEraikan ia hingga Anda dapat memperisterinya..” kata Sa’ad bin Rabi kepada Abdurrahman bin Auf setelah peristiwa hijrah yang fenomenal. “Sahabatku, semoga Allah memberkati Anda, isteri, dan harta Anda. Tunjukkan saja padaku letak pasar di Madinah agar aku dapat berniaga.” Jawab Abdurahman bin Auf sopan. Sa’ad terkagum melihat sikap Abdurrahman bin Auf yang menjaga kehormatan dirinya dari meminta-minta.

Dengan senang hati ia antarkan saudara Muhajirinnya itu menuju pasar Madinah. Maka di tempat itulah Abdurrahman bin Auf membuka lembaran karirnya sebagai pedagang di kota Madinah. Dengan kesabaran dan ketajaman melihat berbagai peluang, ia membangun sedikit demi sedikit perniagaannya hingga mampu berkembang pesat.

Konon, tak lama setelahnya, ia menikahi wanita Madinah dengan mas kawin berupa emas sebesar telur ayam! Kisah-kisah kesuksesan yang mengagumkan. Nyata dan ‘inspiratif. Sempatkan diri membaca Sirah Sahabat, akan kita temukan fakta bahwa sebagian besar sahabat Rasulullah adalah pebisnis yang kaya raya. Ada Abu Bakar Ash-Siddig, Utsman bin Affan, Sa’ad bin Abi Waggash, Umar bin Khattab, dan masih banyak lagi, “Sembilan dari sepuluh pintu rezeki terdapat dalam perniagaan (wirausaha)” sabda Rasulullah.

Sungguh relevan dengan fakta hari ini. Coba amati tokoh milyader seperti Donald Trump dan Bill Gates, berprofesi sebagai apakah mereka? “Perusahaan mana yang akan menyediakan lapangan pekerjaan untuk saya ?” “Instansi pemerintah mana yang masih memiliki peluang untuk ditempati ?” Pertanyaan yang sering menghantui pikiran masyarkat yang belum mendapatkan pekerjaan.

Kekhawatiran itu memang beralasan, sebab berdasarkan Badan Pusat Statistik tahun 2020 bahwa 9,77 juta mengalami kenaikan 2,67 juta orang, dan tentunya ini di antaranya adalah mereka yang baru selesai pendidikan baik yang sekolah menengah atas dan pendidikan tinggi. Persaingan semakin sengit. Jumlah lulusan lebih banyak dibanding jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia.

Hal itu merupakan salah satu faktor penyebab meningkatnya jumlah sarjana pengangguran dari tahun ke tahun. Menghadapi fenomena keterbatasan tersebut, kita dituntut untuk berpikir kreatif. Bagaimana cara agar bisa survive. tanpa harus sibuk mencari lowongan pekerjaan ? Jawabannya sederhana! jika tidak ada yang mempekerjakan Anda, maka bekerjalah untuk diri sendiri. Artinya, ciptakan lapangan pekerjaan sendiri dengan cara berwirausaha.

Berwirausaha tidak hanya menguntungkan Anda, namun juga menguntungkan perekonomian secara makro karena Anda telah berpartisipasi menyediakan lapangan pekerjaan untuk orang lain. Suatu penelitian yang dilakukan sebuah lembaga internasional mengatakan jika suatu negara ingin maju harus memiliki sekurang-kurangnya 4% pengusaha dari total persentase seluruh jumlah penduduk. Indonesia sendiri masih memiliki 0,7% masih kurang sekitar 3,3% lagi atau sekitar 8.250.000 orang pengusaha. Memang ada banyak sekali hambatan yang membuat banyak orang memilih tidak terjun ke dunia bisnis.

Salah satunya adalah faktor resiko. Resiko yang dihadapi berupa ketidakpastian iklim usaha. Bisa jadi hari ini laku, besok belum tentu. Resiko lainnya adalah kegagalan dalam mengelola usaha. Inilah yang sering menjadi sumber ketakutan bagi pebisnis pemula yang mentalnya belum terasah.

Kesuksesan Abdurrahman bin Auf dalam mengelola bisnis bukan hanya karena Ia cerdas secara intelektual-finansial, tetapi juga karena ia menerapkan aturan bisnis islami yang diajarkan Rasulullah SAW. Satu hal yang perlu kita ingat bahwa bukan sekedar sosok pengusaha yang kita butuhkan. Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan sebagian besar negara Eropa, meski jumlah pengusaha relatif banyak, hal itu tidak menjamin kesejahteraan penduduk negara tersebut.

Bagaimana bisa sejahtera jika lingkungan rusak? Bagaimana bisa sejahtera jika kondisi perekonomian selalu mengalami fluktuasi dan krisis akibat kesalahan sistem? Bagaimana bisa sejahtera jika setiap orang berpikir dan bersikap individualis? Kita tidak hanya membutuhkan sosok pengusaha biasa, namun sosok pengusaha muslim yang memahami aturan muamalah berdasarkan Al Ouran dan As-Sunnah.

Aturan muamalah yang Allah SWT tetapkan tidak hanya mengatur bagaimana memperoleh keuntungan melalui jual beli, musyarakah, dan mudarabah, tetapi juga mengatur agar kegiatan ekonomi yang kita lakukan tidak sampai merusak lingkungan, tidak merugikan orang lain, dan bermanfaat untuk kemashalatan manusia dan lingkungan sekitar.

Islam adalah agama yang memberi rahmat untuk scmesta alam, Nilai-nital tslam ditegakkan berdasarkan prinsip keadilan yang menyeluruh untuk semua makhluk hidup. Artinya, dalam melakukan muamalah tidak boleh ada pihak yang dirugikan dari kegiatan tersebut.

Salah satu faktor kesuksesan Abdurrahman bin Auf berwirausaha adalah penerapan aturan muamalah berdasarkan Al Ouran dan As Sunnah, konsep ini dikenal dengan etika bisnis Islam.

Prinsip bisnis Islam tentu berbeda dengan prinsip bisnis dalam sistem ekonomi kapitalis dan sosialis. Sistem ckonomi kapitalis berorientasi pada pengejaran keuntungan semata, sementara itu sistem ekonomi sosialis berorientasi pada kepentingan sosial dan meniadakan hak-hak individu.

Sistem ekonomi Islam menjunjung tinggi prinsip keadilan. Islam memberi kebebasan kepada setiap individu untuk berusaha sesuai kapasitas mereka. Individu berhak memperoleh kekayaan sesuai usahanya. Namun, setiap individu berkewajiban menyisihkan hartanya kepada mereka yang kurang beruntung secara ekonomi. Itu sebabnya terdapat kewajiban berzakat dan sedekah dalam Islam.
Etika bisnis Islam mengatur hubungan perniagaan antara pelaku bisnis dengan konsumen, pihak kompetitor, pekerja, dan lingkungan sekitar.

Abdurrahman bin Auf menerapkan hal tersebut dalam berniaga. Beliau selalu berhati-hati dengan menjauhi barang perniagaan haram dan sumber penghasilan riba.
Beliau memegang amanah Rasulullah dengan menjadikan kejujuran sebagai hal fundamental dalam berwirausaha. Ia tidak pernah berlaku curang dengan menyembunyikan aib barang, tidak berbohong, tidak mengurangi timbangan dan melakukan sumpah palsu agar barangnya cepat laku. la bersikap toleran dan ramah kepada pembeli. Is tidak pernah melakukan spekulasi dengan menimbun berang untuk menaikkan harganya di masa mendatang.

Beliau tidak pemah memandang pengusaha lain sebagai pihak kompetitor yang harus dibasmi, namun sebagai mitra dagang. Meski telah menjadi saudayar kaya raya, Beliau tidak melakuakan praktik monopoli dengan berusaha mencegah pedagang lain masuk ke dalam pasar denga menjelek jelekan barang dagangan orang lain.

Terhadap para pekerja, Beliau sangat memperhatikan hak-hak mereka dengan membayar upah tepat waktu dan tidak membebani suatu pekerjaan melebihi kemampuan mereka. Menjadi saudagar terkaya di Madinah tidak menjadikan Abdurrahman bin Auf sombong. Masyarakat Madinah mengenalnya sebagai sosok yang rendah hati dan ringan tangan. Ia sering membagi-bagikan harta kekayaannya kepada penduduk Madinah. “Bahkan kami tidak bisa membedakan Abdurrahman bin Auf jika ia telah duduk di antara para pelayannya”.

Kenang seorang sahabat. Hal ini menunjukkan meski telah menjadi orang terkaya sekalipun, Beliau selalu berpenampilan sederhana. Jangan tanya soal hubungannya dengan Allah SWT karena Beliau termasuk salah seorang sahabat yang dijamin Rasulullah SAW masuk surga. Tidak ada alasan bagi Beliau untuk menunda-nunda sholat dan lalai dalam mengingat Allah SWT ditengah kesibukkannya dalam perniagaan. Lengkap sudah kesuksesan Abdurrahman bin Auf! Dunia akhirat di dapat.Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah Abdurrahman bin Auf.

Pertama, kesuksesannya dalam berwirausaha tidak diperoleh dalam waktu semalam, tetapi dibangun dalam proses bertahun-tahun. Abdrurrahman bin Auf pun pernah mengalami kegagalan. Usahanya pernah bangkrut dan harta kekayaannya habis saat Rasulullah dan para sahabat mengalami pemboikotan sebelum peristiwa hijrah ke Madinah. Namun demikian, Beliau tetap menjaga izzahnya sebagai muslim dari meminta-minta dan mampu kembali bangkit dari keterpurukan.

Kedua, salah satu faktor yang menjadikan bisnis Abdurrahman bin Auf berkembang pesat dan bertahan lama adalah karena komitmen Beliau dalam mempraktikkan — etika bisnis Islami. Beliau selalu mengedepankan kejujuran, menghormati hak-hak pembeli dan pekerja, serta merangkul kompetitor sebagai mitra dagang.

Ketiga, kesibukan perniagaan tidak menjadikan Beliau silau memandang dunia. Beliau tidak pernah lalai dalam mengingat Allah SWT, selalu menyempatkan diri untuk hadir di majelis Rasulullah, dan tidak pernah absen jika ada perintah jihad. Siapapun bisa menjadi wirausaha. Siapapun bisa menjadi the next Abdurrahman bin Auf asal memiliki kemauan.

“Saya sih mau saja berwirausaha, tapi modalnya ??” Pasti ada yang membatin demikian. Cermati perkataan Abdurrahman bin Auf saat tiba di kota Madinah : “Cukup tunjukkan padaku letak pasar agar aku bisa berniaga.” Beliau tidak mengatakan kepada Sa’ad bin Rabi “Pinjamkan aku modal agar bisa berniaga.” Artinya Beliau tidak menggunakan modal uang, namun modal tenaga. Beliau bekerja dengan menjalankan usaha milik orang lain di pasar Madinah.

Setelah pengalaman dan modalnya mencukupi, barulah Abdurrahman bin Auf membuka usahanya sendiri Sebagian besar pebisnis yang sukses hari ini pun menerapkan hal serupa. Masyarakat secara umum saatnya membuat suatu perubahan dengan merubah pola pikir, mengasah mental, menggali pengetahuan dengan terus belajar, dan melakukan aksi. Point terakhir itu yang terpenting, yakni melakukan aksi. Begitu banyak konsep bisnis yang tidak terealisasi karena hanya tersimpan di dalam otak dan tercatat di atas kertas. Mari mengubah mindset kita : dari “mencari” menjadi “menciptakan” lapangan pekerjaan.

Silakan tentukan sendiri kehidupan diri kita di masa mendatang. Tentunya tujuan kita bukan sekedar mendirikan lapangan usaha, bukan juga sekedar mengejar keuntungan, atau mengejar kesenangan dunia lainnya. Jika demikian, tidak heran bila banyak sosok pengusaha, khususnya pengusaha muslim, yang mengabaikan aturan-aturan Allah demi mengejar keuntungan duniawi.

Mendekatkan diri kepada Allah dan memiliki peluang beramal lebih besartah yang seharusnya menjadi tujuan utama. Itulah yang membedakan sosok pengusaha muslim dengan pengusaha biasa. Itulah kunci kesuksesan Abdurrahman bin Auf dalam mengelola usaha sehingga Allah menumpahkan rezeki tak ternilai kepadanya.(*)

Oleh : Catur Wahyudi, S.E.I.,M.Si Dosen Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Pancasakti Tegal

Scroll to Top